Senin, 07 Juli 2014

Membongkar Misteri Keperawanan dan Seksualitas



Dalam keseharian kita sering mendengar sebuah celoteh terlebih di kalangan kaum Adam tatkala tengah kongkow sambil memperhatikan kaum hawa yang melintas, “Eh, dia tuh udah nggak perawan lagi tuh” saat sesosok familiar yang selalu berselimut rumor lewat di hadapan kita.

Apakah kita salah satu dari mereka yang kerap terjebak mendefinisikan keperawanan? Apakah kita juga sepakat dengan penerapan tes keperawanan yang kontroversinya mewarnai media akhir-akhir ini? Coba kita uji pengetahuan kita saat mengecek beberapa mitos di bawah ini:

1. Hymen atau selaput dara adalah SATU-SATUNYA penanda keperawanan
Sama sekali tidak ada ciri-ciri fisik yang dapat menjadi penanda seksualitas seseorang atau penentu apakah seseorang telah terlibat aktivitas seksual, termasuk selaput dara.

Profesor Kathleen Kelly dari Northeastern University, Boston, AS, mendiskusikan sejarah hymen dalam sebuah konferensi dan menggarisbawahi pemahaman kita yang seringkali meleset: “Apa yang kita anggap sebagai hymen saat ini tidak selalu berupa definisi yang tetap… Jika kita melacak etimologi kata hymen, dari Bahasa Yunani hingga Inggris, kita dapat melihat bagaimana kata tersebut secara drastis mengalami penyempitan makna, pada awalnya ia mengacu pada membran yang menyatu dengan tubuh, lalu mengacu pada rahim, hingga pada akhirnya hampir secara eksklusif bermakna “membran virginal” di masa awal. Hymen sejauh ini terlalu diberi penekanan, dan merupakan istilah yang disalahartikan secara luas karena… sekarang hymen justru berubah menjadi bagian anatomis baku dan sebuah metonimi.”

2. Orang lain bisa melihat apakah kita masih perawan atau tidak
Sangat sulit untuk menentukan pengalaman seseorang terkait dengan aktivitas seksualnya. Seringkali seseorang yang banyak mengobral soal seks sebenarnya yang pengalaman seksnya nol besar. Terlepas dari apakah seseorang sudah pernah melakukan hubungan seks atau belum, tak ada yang semestinya merasa malu dengan “status” ini. Mulailah membuat pilihan-pilihan yang tepat untuk diri kita sendiri, lebih penting untuk menjadi sehat dan merasa happy.

3. Kita dianggap sok suci jika menunggu sampai cukup umur
Sebenarnya, kita justru pintar. Kebanyakan orang yang melakukan pengalaman seksualnya selepas usia yang matang diberitakan menjadi pribadi yang lebih positif dan menganggapnya sebagai momen penuh arti. Semakin kita mau menunda, semakin terbuka, dan semakin kuatnya komitmen hubungan romantis di antara pasangan kita, akan menurunkan potensi rasa penyesalan terhadap seks. Pengalaman seksual dini akan membentuk perilaku seksual kita pada tahun-tahun mendatang, jadi lebih baik kalau memulainya jika kita sudah siap.

4. Seks adalah hal yang paling penting buat remaja
Faktanya, tak ada yang suka pukul rata, dan kita tahu kalau setiap individu itu berbeda. Oke, memang seks itu penting dan kita tahu bagaimana rata-rata remaja menghadapi desakan hormon di kesehariannya. Tapi hal ini juga tak berarti kalau cewek atau cowok kita menghargai hubungan, kepercayaan, pertemanan, atau cinta lebih dari pada urusan kasur. Jika ada kenalan yang berlagak bak Sex Machine di depan teman-teman, pandanglah ia dengan simpati karena tekanan teman sebaya. Kenali ia lebih jauh akan hal-hal yang paling berarti buatnya.


Artikel ini disusun oleh Pamflet, sebagai bagian dari gugus kerja Seperlima (Seputar Kesehatan & Hak Kesehatan Seksual & Reproduksi), yang terbentuk untuk mewujudkan penyelenggaraan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas di setiap sekolah di Indonesia dengan melibatkan partisipasi aktif anak muda di dalamnya. Lembaga lain yang terlibat terdiri dari Hivos, Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia, RAHIMA, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), dan PAMFLET. Sejak tahun 2012, Seperlima menggelar berbagai pertemuan, workshop, dan dialog seputar wacana mengenai fakta dan mitos seputar kesehatan reproduksi yang mengemuka di antara anak muda.
sumber : berita yahoo